![]() |
Pemberdayaan Siswa melalui Pelatihan Menulis Cerpen Berbasis Kearifan Lokal di SMAN 7 Kota Serang. |
SERANG, bbiterkini.com - Di tengah derasnya arus globalisasi dan kemajuan teknologi, budaya literasi di kalangan remaja mulai menghadapi tantangan serius. Siswa kini lebih akrab dengan gawai daripada buku, lebih fasih menulis status media sosial daripada karya sastra.
Fenomena ini bukan sekadar perubahan gaya hidup, tetapi juga menandaka pergeseran nilai: kemampuan berpikir kritis, reflektif, dan kreatif perlahan tergeser oleh budaya instan dan serba cepat.
Padahal, kemampuan menulis kreatif—khususnya menulis cerpen—tidak hanya melatih keterampilan berbahasa, tetapi juga menjadi sarana membangun karakter, empati, dan kepekaan terhadap lingkungan sosial serta budaya.
Dari keprihatinan inilah lahir gagasan untuk melaksanakan kegiatan *Pengabdian kepada Masyarakat (PKM)* bertema “Pemberdayaan Siswa melalui Pelatihan Menulis Cerpen Berbasis Kearifan Lokal di SMAN 7 Kota Serang.”
Kearifan Lokal sebagai Sumber Inspirasi
Banten adalah daerah dengan kekayaan budaya yang luar biasa: mulai dari tradisi debus, kisah rakyat, bahasa daerah, hingga nilai-nilai luhur dalam kehidupan masyarakat pesisir dan pedalaman. Sayangnya, kekayaan ini sering terabaikan di ruang-ruang kelas. Siswa mengenal karya sastra klasik Indonesia, tetapi jarang diajak menggali kisah dari lingkungannya sendiri.
Melalui pelatihan ini, para siswa diajak untuk “kembali pulang”—mengenal, memahami, dan menulis tentang budaya mereka sendiri.
Kami berdiskusi tentang legenda lokal seperti Si Amat, Kyai Mas Tirtayasa, dan berbagai cerita rakyat Banten lainnya. Dari sana muncul kesadaran baru bahwa bahan cerita terbaik sering kali ada di sekitar mereka.
Kearifan lokal bukan sekadar cerita masa lalu. Ia mengandung nilai-nilai moral, solidaritas, dan spiritualitas yang masih relevan di masa kini. Ketika siswa menulis cerpen berbasis budaya daerahnya, sejatinya mereka sedang berkontribusi dalam pelestarian nilai-nilai itu melalui jalur kreatif.
Dari Teori ke Praktik Kreatif
Pelatihan dilaksanakan dalam beberapa tahap. Tahap pertama berfokus pada pemahaman dasar unsur dan struktur cerpen —alur, tokoh, latar, konflik, dan tema.
Pendekatannya tidak kaku dan teoritis, melainkan dialogis dan kontekstual. Siswa diajak menganalisis cerpen populer, kemudian menemukan nilai-nilai lokal yang bisa diangkat dalam karya mereka.
Tahap kedua adalah praktik menulis , di mana siswa diminta menulis cerpen bertema kehidupan sehari-hari yang sarat nilai budaya lokal. Ada yang menulis kisah perjuangan nelayan di pesisir, ada yang mengangkat tradisi gotong royong di kampung, bahkan ada yang menulis kisah fantasi yang berpijak pada legenda daerah.
Tahap terakhir adalah apresiasi karya . Siswa membacakan cerpen hasil karyanya di depan teman-teman sekelas. Kegiatan ini menjadi ajang berbagi, menumbuhkan keberanian, dan memperkuat rasa percaya diri. Banyak siswa yang awalnya ragu menulis, kini justru bersemangat menuangkan gagasan dalam bentuk Karya sastra.
Dampak Positif bagi Siswa dan Sekolah
Hasil kegiatan ini sungguh menggembirakan. Para siswa menunjukkan antusiasme tinggi dan mulai menyadari bahwa menulis bukan tugas membosankan, melainkan kegiatan yang menyenangkan dan bermakna. Mereka belajar mengungkapkan ide, menggambarkan karakter, serta membangun alur cerita yang berakar pada kehidupan nyata.
Guru Bahasa Indonesia juga melihat manfaat besar dari kegiatan ini. Pelatihan menulis cerpen berbasis kearifan lokal menjadi contoh implementasi nyata Profil Pelajar Pancasila, terutama pada dimensi “beriman dan berakhlak mulia”, “berkebinekaan global”, serta “kreatif”. Bahkan beberapa karya siswa berhasil dimuat di buletin sekolah dan platform digital lokal.
Kegiatan ini membuktikan bahwa pendekatan literasi berbasis budaya lokal mampu menjadi strategi efektif dalam menghidupkan semangat menulis di sekolah. Dengan mengaitkan pembelajaran pada konteks budaya yang nyata, siswa tidak hanya belajar menulis, tetapi juga belajar menghargai dan melestarikan warisan budaya daerahnya.
Menulis sebagai Bentuk Pemberdayaan
Menulis memberi ruang bagi siswa untuk bersuara. Dalam cerpen-cerpen mereka tersimpan pandangan dunia remaja—tentang cita-cita, keresahan, dan harapan mereka terhadap masyarakat. Inilah esensi pemberdayaan: memberikan kesempatan kepada generasi muda untuk berbicara melalui karya, bukan sekadar menjadi pendengar.
Bagi kami sebagai dosen, kegiatan ini menjadi pengalaman berharga. Dunia pendidikan tinggi tidak boleh berjarak dengan sekolah dan masyarakat. Melalui kegiatan PKM, perguruan tinggi dapat hadir secara nyata dalam upaya membangun generasi yang literat dan berkarakter. Kolaborasi antara kampus dan sekolah menumbuhkan semangat gotong royong dalam pendidikan, di mana ilmu tidak berhenti di ruang kuliah, melainkan mengalir ke masyarakat.
Revitalisasi Literasi Sekolah
Sudah saatnya sekolah menempatkan kegiatan menulis kreatif sebagai bagian penting dari pembelajaran. Literasi tidak boleh dimaknai sebatas kemampuan membaca buku teks, tetapi sebagai kemampuan berpikir kritis, berimajinasi, dan berempati. Sastra, terutama cerpen, merupakan media efektif untuk mengembangkan semua kemampuan itu secara seimbang.
Apabila setiap sekolah mampu menumbuhkan budaya menulis cerpen berbasis Kearifan lokal, maka kita akan melihat lahirnya generasi yang literat sekaligus mencintai budayanya. Mereka tidak sekadar menjadi konsumen budaya global, tetapi juga pencipta nilai-nilai lokal yang memperkaya jati diri bangsa.
Pelatihan menulis cerpen berbasis kearifan lokal di SMAN 7 Kota Serang hanyalah satu langkah kecil, namun berdampak luas. Ia membuka ruang bagi siswa untuk menulis, berpikir kritis, dan mengenal dirinya melalui budaya. Dari kegiatan sederhana ini, kita belajar bahwa pendidikan sejati bukan hanya soal nilai akademik, tetapi juga tentang bagaimana kita menumbuhkan karakter dan rasa cinta terhadap tanah kelahiran.
Dari ruang kelas di Kota Serang, lahir cerita-cerita baru tentang kehidupan, harapan, dan kebanggaan. Dan dari pena-pena para siswa, kita menyaksikan bahwa sastra bukan sekadar pelajaran, melainkan jalan untuk memahami diri dan melestarikan budaya bangsa.
Oleh: Thea Umbarasari, M.Pd.
Dosen Universitas Pamulang