![]() |
| Warga melintasi jalan berlumpur di kawasan jalan KKA, Guci Bener Meriah, untuk memperolah bantuan makanan dan logistik. |
BENER MERIAH, bbiterkini.com - Empat belas hari telah berlalu sejak bencana besar menghantam Kabupaten Bener Meriah. Kini memasuki hari ke-15, kabupaten yang berdiri di dataran tinggi Gayo itu seakan tenggelam dalam keheningan.
Tidak ada hiruk-pikuk pejabat yang datang, tidak ada sorot kamera media besar, tidak ada langkah artis yang biasanya berlomba tampil di lokasi bencana, yang terdengar hanya kabar duka yang datang berulang kabar tentang manusia yang meregang nyawa karena lapar, kelelahan, dan keputusasaan.
Di daerah yang terputus oleh lebih dari 130 jembatan yang runtuh, kehidupan seperti terhenti. Jalan penghubung antar-desa lenyap tersapu arus. Banyak kampung terisolir total, tak dapat ditembus kendaraan, bahkan tak dapat dicapai bantuan udara karena cuaca ekstrem.
Bener Meriah, yang seharusnya menjadi kabupaten yang berdiri tegak di peta Aceh, kini nyaris seperti titik yang hilang dari ingatan.
Sementara itu, dunia luar justru fokus pada Takengon. Nama Aceh Tengah terdengar di mana-mana: di televisi, di platform donasi, di rombongan relawan yang berdatangan.
Takengon seakan menjadi satu-satunya wajah dari wilayah Gayo. Namun hanya sedikit yang menyadari bahwa di balik punggung Takengon, ada Bener Meriah yang sedang menjerit tanpa suara.
Salah pemahaman yang sederhana, namun dampaknya mematikan. Karena itulah Bener Meriah terabaikan. Mereka disangka bagian dari Takengon. Maka bantuan yang datang pun berhenti di Takengon. Sementara desa-desa di Bener Meriah tetap gelap, tetap lapar, tetap terjebak dalam sunyi panjang yang penuh air mata.
Sunyi yang Menghanyutkan
Dalam dunia bencana, daerah yang paling hancur justru sering kali paling senyap. Aceh Tamiang pernah menjadi contohnya. Berhari-hari tidak terlihat di pemberitaan, padahal ribuan warganya sedang berjuang antara hidup dan mati. Kini, pola itu berulang—kali di Bener Meriah.
"Air beriak tanda tak dalam," kata orang bijak. Yang tenang justru menghanyutkan. Keheningan Bener Meriah bukan tanda aman. Ia tanda bahaya yang disembunyikan semesta," ujar M Salihin.
Kini warga terpaksa berjalan kaki berhari-hari menembus hutan untuk mencari sekantong beras. Ada anak-anak yang tidur dengan perut kosong. Ada lansia yang menunggu bantuan sambil memegang sisa air hujan di botol plastik.
Ada ibu-ibu yang memeluk anaknya di balik dingin malam, menahan tangis agar si kecil tidak ikut menangis karena lapar.
Dan ada pula keluarga yang tidak sempat menyelamatkan anggotanya—karena pertolongan tidak pernah tiba.
Kabupaten yang Hilang dari Radar
Bener Meriah adalah Kabupaten, berdiri sendiri, dengan penduduk yang besar. Namun dalam tragedi ini, ia seperti terhapus dari peta bencana nasional. Tidak ada pejabat tinggi datang. Tidak ada kamera berita nasional. Tidak ada poster artis atau ajakan donasi yang viral. Seakan-akan kabupaten ini tidak eksis.
Padahal di sana, ada kehidupan yang sedang dipertaruhkan. Ada waktu yang berlari tanpa ampun. Ada manusia yang memanggil-manggil pertolongan tanpa suara.
Seruan dari Tanah Gayo yang Terlupakan
Warga dunia maya, relawan, donatur, dan siapa pun yang masih memiliki empati, inilah saatnya menyuarakan kebenaran:
Bener Meriah adalah Kabupaten, bukan Kecamatan di Aceh Tengah. Lebih dari 130 jembatan putus. Ratusan desa terisolir. Ada yang meninggal karena lapar. Ada yang berjalan berhari-hari demi sesuap nasi. Ada ibu, anak, dan lansia yang menunggu tanpa kepastian.
Ini bukan sekadar bencana alam. Ini kegagalan melihat mereka. Ini tragedi karena salah persepsi.
Dalam tujuh hari ke depan, Bener Meriah harus keluar dari status “terisolir”. Dan itu hanya bisa terjadi jika Kabupaten ini kembali terlihat, kembali disebut, kembali diingat.
Jika kita tidak bersuara, maka siapa lagi?
Karena di Bener Meriah, kehidupan sedang menggantung di ujung yang rapuh, menunggu sebuah pertolongan yang tak kunjung datang.
Di tengah hiruk-pikuk bantuan yang menumpuk di Takengon, seorang warga Aceh Tengah yang ditemui relawan tak kuasa menahan haru. Dengan suara bergetar ia berkata:
"Maafkan kami ya Allah… Hanya setingkat mati lampu dan sinyal buruk saja kami sudah mengeluh. Sementara saudara-saudara kami di Bener Meriah harus berjalan berkilo-kilo meter hanya untuk mendapatkan beras. Kami di sini merasa terbantu, tapi mereka di sana sedang bertaruh nyawa."
Kalimat sederhana itu terdengar lirih, namun menghantam jantung siapa pun yang mendengarnya. Di tengah bencana, empati adalah cahaya paling terang, dan pengakuan jujur itu seperti tamparan lembut bagi semua yang selama ini hanya melihat Takengon—tanpa menyadari ada Bener Meriah yang hampir tenggelam tanpa kabar. (Joniful Bahri)
