![]() |
| Ilustrasi |
SERANG, bbiterkini – Sejak dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia pada 2014, Joko Widodo, atau yang akrab disapa Jokowi, telah menorehkan wajah baru dalam lanskap kepemimpinan nasional. Berbeda dengan pendahulunya yang dikenal sangat formal dan birokratis, Jokowi muncul sebagai sosok yang sederhana, dekat dengan rakyat, dan pragmatis dalam mengambil keputusan. Gaya kepemimpinannya yang hangat dan “merakyat” menandai transformasi cara seorang presiden berinteraksi dengan masyarakat, sekaligus membentuk persepsi baru tentang figur pemimpin di era modern.
Pengalaman Jokowi di pemerintahan daerah, baik sebagai Wali Kota Solo maupun Gubernur DKI Jakarta, sangat memengaruhi cara ia memimpin di tingkat nasional. Dari kota Solo yang relatif kecil hingga ibu kota negara yang kompleks, Jokowi terbiasa bekerja dengan cara turun langsung ke lapangan, menyentuh permasalahan masyarakat secara konkret, dan mengambil keputusan berdasarkan fakta di lapangan. Pendekatan ini, yang sering dikenal dengan istilah “blusukan,” menunjukkan kepekaan dan kepeduliannya terhadap kebutuhan rakyat. Aktivitas ini bukan sekadar simbol, tetapi juga mekanisme untuk memastikan bahwa kebijakan yang dibuat benar-benar menjawab persoalan nyata.
Karakter kepemimpinan Jokowi sangat mencerminkan pragmatisme. Ia tidak terjebak pada formalitas yang panjang dan birokrasi yang berbelit, melainkan menekankan efektivitas dan hasil nyata. Hal ini terlihat jelas dalam ambisi pembangunan infrastruktur nasional yang masif. Jalan tol, pelabuhan, bandara, hingga proyek strategis lainnya dibangun bukan sekadar untuk memenuhi target administratif, tetapi untuk memberikan dampak langsung bagi ekonomi dan mobilitas masyarakat. Sikap ini memperlihatkan bahwa Jokowi memandang pembangunan sebagai alat konkret untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat, bukan hanya sekadar pencapaian politik semata.
Selain pragmatis, Jokowi juga dikenal sebagai pemimpin yang berorientasi pada bukti. Ia cenderung memverifikasi sendiri kondisi di lapangan sebelum mengambil keputusan penting. Hal ini memberi kesan kepemimpinan yang berbasis fakta, di mana kebijakan publik tidak hanya lahir dari rapat dan dokumen, tetapi juga dari pengamatan langsung terhadap realitas yang dihadapi rakyat. Pendekatan semacam ini membuatnya mampu merumuskan solusi yang lebih tepat dan relevan, meskipun kadang memerlukan energi dan waktu ekstra.
Namun, gaya kepemimpinan Jokowi tidak hanya sekadar humanis dan pragmatis. Ia juga mampu menunjukkan ketegasan, terutama ketika menghadapi hambatan birokrasi atau kepentingan politik yang menghambat proses pembangunan. Dalam banyak kesempatan, keputusan penting diambil dengan cepat dan tegas, menandakan bahwa meskipun dekat dengan rakyat, Jokowi tetap mempertahankan kewibawaan seorang kepala negara. Kemampuannya untuk memadukan kedekatan dengan rakyat dan ketegasan dalam pengambilan keputusan menjadi salah satu ciri khas yang menonjol dalam kepemimpinannya.
Capaian kepemimpinan Jokowi terlihat jelas dalam berbagai sektor. Pembangunan infrastruktur menjadi tonggak utama pemerintahan, memperlihatkan upaya konkret meningkatkan konektivitas dan daya saing Indonesia di kancah regional maupun global. Selain itu, kebijakan sosial yang humanis, seperti program kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat kurang mampu, menegaskan komitmen Jokowi untuk menghadirkan pemerintahan yang peduli
pada kesejahteraan rakyat. Di bidang ekonomi, pendekatan pragmatisnya berhasil menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif dan mendorong pertumbuhan sektor industri serta digitalisasi, sehingga Indonesia mampu menghadapi tantangan global yang dinamis.
Meski demikian, kepemimpinan Jokowi tidak lepas dari kritik. Beberapa pihak menilai kepemimpinannya cenderung terpusat, dengan keputusan penting sering berada di lingkaran dekat presiden. Hal ini dapat membatasi partisipasi aktif dari birokrasi yang lebih luas dan menimbulkan kesan bahwa pengambilan keputusan tidak sepenuhnya inklusif. Selain itu, reformasi birokrasi dan kelembagaan, yang menjadi kebutuhan jangka panjang, masih menghadapi tantangan besar. Walaupun pembangunan fisik berjalan cepat, perubahan struktural dan peningkatan efisiensi di sektor publik membutuhkan waktu lebih panjang dan kesabaran politik yang tinggi.
Tantangan politik dan sosial juga menjadi bagian dari dinamika kepemimpinan Jokowi. Menyeimbangkan aspirasi rakyat, kepentingan politik, dan kebutuhan pembangunan bukanlah hal yang mudah. Beberapa kebijakan kontroversial, termasuk regulasi ekonomi dan omnibus law, menunjukkan bahwa kepemimpinan modern harus mampu menghadapi kritik, mengelola konflik, dan tetap menjaga stabilitas nasional. Di sinilah Jokowi menunjukkan bahwa kepemimpinan bukan sekadar simbol atau retorika, tetapi kemampuan untuk mengambil keputusan sulit demi kepentingan jangka panjang negara.
Secara keseluruhan, gaya kepemimpinan Presiden Jokowi dapat digambarkan sebagai perpaduan antara kedekatan dengan rakyat, pragmatisme dalam pengambilan keputusan, dan fokus pada hasil nyata. Ia berhasil menghadirkan kepemimpinan yang humanis, namun tetap tegas dan efektif, sekaligus menekankan bahwa pembangunan dan kesejahteraan rakyat adalah tujuan utama dari kekuasaan. Meski menghadapi tantangan politik, birokrasi, dan sosial, Jokowi membuktikan bahwa kepemimpinan modern menuntut kemampuan untuk mendengar, memahami, dan bertindak berdasarkan realitas yang ada, bukan hanya formalitas atau retorika semata.
Gaya kepemimpinan ini, dengan segala kelebihan dan tantangannya, memberi pelajaran penting bagi Indonesia dan bahkan dunia, bahwa seorang pemimpin dapat tetap dekat dengan rakyat, pragmatis, dan tegas sekaligus, tanpa kehilangan wibawa dan arah strategis dalam memimpin negara. Jokowi tidak hanya sekadar figur politik; ia merupakan representasi dari kepemimpinan yang adaptif, berorientasi hasil, dan manusiawi di era kompleksitas modern.
Oleh: TRahmat hidayat Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang
