![]() |
| Emile Durkheim |
Serang, bbiterkini – Banjir besar yang melanda Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh beberapa waktu terakhir kembali menyita perhatian publik. Video mengenai rumah-rumah yang hanyut, warga yang terjebak di atap, hingga jalanan yang berubah menjadi sungai deras tersebar luas di media sosial. Setiap kali kita membuka gawai, seolah selalu ada kabar baru yang membuat hati semakin sesak. Peristiwa ini tidak hanya menimbulkan kerugian fisik, tetapi juga menggugah banyak pertanyaan tentang bagaimana masyarakat dan negara merespons bencana.
Salah satu hal yang paling terlihat adalah bagaimana masyarakat saling membantu. Warga setempat, relawan, tetangga, hingga orang yang tidak saling mengenal turun tangan memberikan pertolongan. Ada yang mengevakuasi korban dengan perahu sederhana, menyediakan tempat tinggal sementara, memasak makanan untuk pengungsi, dan mencari kebutuhan bagi anak-anak serta lansia. Solidaritas spontan seperti ini menunjukkan bahwa di tengah kesulitan, masyarakat Indonesia masih memiliki ikatan sosial yang kuat. Inilah yang, menurut Émile Durkheim disebut sebagai solidaritas mekanik, sebuah ikatan yang muncul secara alami karena rasa kebersamaan dan kesadaran bahwa keselamatan orang lain juga merupakan tanggung jawab kita.
Namun, di sisi lain, banjir ini juga memperlihatkan lemahnya kesiapsiagaan sistemik dalam penanggulangan bencana. Banyak daerah yang seharusnya tidak layak dijadikan permukiman tetap dihuni, kawasan hulu sungai mengalami kerusakan lingkungan yang parah, dan infrastruktur pengendali banjir tidak berfungsi optimal. Sistem peringatan dini pun sering kali tidak berjalan dengan baik. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius apakah negara sudah hadir secara memadai untuk melindungi warganya?
Durkheim mengingatkan bahwa masyarakat modern tidak cukup hanya mengandalkan solidaritas warga. Negara dan institusi sosial memiliki peran penting dalam menjaga ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan bersama. Ketika fungsi institusi melemah, masyarakat dapat mengalami apa yang disebut Durkheim sebagai anomie, yakni keadaan ketika norma dan pedoman sosial tidak lagi jelas, sehingga masyarakat merasa kehilangan arah dan perlindungan.
Melihat keadaan di Sumatera, kita dapat merasakan gejala tersebut. Warga sering kali harus bertahan sendiri pada jam-jam pertama bencana. Banyak yang kehilangan harta benda, rumah, dan sumber penghidupan, namun tidak tahu harus bergantung kepada siapa setelah air surut. Kondisi ini menunjukkan bahwa solidaritas masyarakat memang kuat, tetapi tidak seharusnya menjadi satu-satunya penopang ketika bencana terjadi.
Banjir yang terjadi secara berulang seharusnya menjadi alarm bagi semua pihak. Pemerintah perlu memperkuat sistem mitigasi, memperbaiki tata ruang, menegakkan aturan lingkungan, dan memastikan infrastruktur penanggulangan bencana berjalan sebelum tragedi terjadi. Bencana bukan sesuatu yang dapat kita cegah sepenuhnya, tetapi dampaknya dapat dikurangi jika negara hadir dengan lebih serius dan terencana.
Pada akhirnya, bencana banjir di Sumatera mengajarkan dua hal penting. Pertama, bahwa rasa kemanusiaan dan solidaritas masyarakat kita masih sangat kuat. Kedua, bahwa kekuatan ini tidak boleh dibiarkan bekerja sendirian. Negara perlu hadir bukan hanya ketika kamera menyorot, tetapi jauh sebelum itu pada tahap pencegahan, pengawasan, dan pendidikan masyarakat.
Jika solidaritas warga dan kesiapan negara dapat berjalan beriringan, maka kita tidak hanya mampu menghadapi bencana, tetapi juga membangun masa depan yang lebih aman dan bermartabat bagi semua.
PENULIS : NURUDDIN AR-ANIRI
DOSEN PEMBIMBING : ANGGA ROSIDIN, S.I.P., M. A. P.
KEPALA PROGRAM STUDI : ZAKARIA HABIB AL-RA’ZIE, S.IP., M.SOS.
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA UNIVERSITAS PAMULANG KAMPUS SERANG.
